Maba PBAK Belajar dari Cerita “Tiwul”

SALATIGA – Mahasiswa Baru (Maba) Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2018 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga belajar dari cerita “Tiwul”  yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Rabu (08/08/2018) kemarin.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku jadi bahan bullying di media sosial gara-gara pemberitaan mengenai ajakan makan tiwul olehnya yang dimuat di sejumlah media hingga menjadi viral.

Hal tersebut diawali saat di depan ribuan mahasiswa, Ganjar mengatakan hal itu terjadi karena adanya perbedaan persepsi. Pria berambut putih itu menyebut, pemberitaan bermula dari pertanyaan sejumlah wartawan usai ia mengisi kuliah umum di Polines Semarang, Senin (6/8) pekan kemarin.

“Saya ditanya, ada warga di Kebumen yang mengalami kekeringan dan tidak memiliki beras lalu makan tiwul. Ya saya jawab tidak apa-apa makan tiwul,” ujarnya.

Dari pernyataan itu, lanjutnya, muncul beberapa pemberitaan dengan persepsi berbeda. Sehingga hasil pemberitaannya, menurut Politikus PDIP itu berbeda pula.

Dikatakannya, ada media yang memberitakan bahwa Ganjar menganjurkan warganya makan tiwul. “Padahal, apa salahnya coba makan tiwul? Saya bilang makan tiwul boleh, ubi boleh, jagung boleh. Makanan pokok tidak harus beras,” ujarnya.

Bahkan dari pemberitaan itu, Ganjar menceritakan ada seorang pejabat teras partai politik yang ikut berkomentar di twitter. “Dia bilang, Pak Ganjar kalau tidak punya solusi ya jangan menganjurkan warganya makan tiwul. Berarti dia bukan orang Jawa Tengah,” katanya.

Ia menambahkan, ada banyak komentar juga yang justru terkesan tidak bertanggungjawab, dimana makanan tiwul malah dikait-kaitkan dengan politik. Ia pun mengaku sangat menyayangkan hal itu. “Padahal tiwul itu tidak buruk dan enak banyak juga yang suka, janganlah disangkut-sangkutkan dengan politik,” tuturnya.

Ganjar mengatakan bahwa Negara Indonesia dikaruniai sumber pangan melimpah. Dirinya pun mempersilakan masyarakat memanfaatkan kekayaan alam itu, seperti halnya warga Indonesia Timur yang memiliki bahan pangan pokok berupa sagu.

“Jadi kalau ada yang makan selain beras atau nasi, itu bentuk kemandirian bertahan hidup, survive dan termasuk diversifikasi pangan. Boleh-boleh saja, pangan itu ada banyak. Kalau memang ada yang kekurangan pangan di Jateng bilang saya, nanti saya bantu yang penting saya sampaikan jangan makan nasi aking,” jelasnya.

Kembali ke tiwul, Ganjar menyebut ada pelajaran penting yang bisa dipetik. Yakni, tentang bagaimana seseorang yang tidak tahu menahu mengenai informasi sebenarnya, diharapkan banyak membuka wawasan dan tabayyun.

Tabayyun itu penting, menanyakan dulu karena kalau tidak, persepsi yang diterima bisa beda-beda. Terlebih lagi di era millenial dan era digital saat ini, informasi berseliweran di mana-mana. Jadi mari kita lebih arif dan bijaksana dalam merespon sesuatu, gunakan metodologi berfikir,” tandasnya. (zid/hms) IAIN Salatiga-#AKSI