Rektor IAIN Salatiga: Kehidupan Digital Buat Aktivitas Keberagamaan Makin Ramai

SALATIGA-Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga, Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag mengatakan bahwa kehidupan digital membuat aktivitas keberagamaan menjadi ramai. “Demokratisasi dan digitalisasi beragama memberikan ruang bebas dan terbuka bagi semua pemeluk agama untuk menyebarkan nilai-nilai yang dianutnya,” katanya dalam sambutan pembukaan Seminar Nasional bertema Kontestasi Identitas dan Otoritas Keislaman di Indonesia: Berkaca dari sejarah yang diadakan oleh Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga pada Rabu (7/4/2021).

Menurutnya, kontestasi antar otoritas sebenarnya sudah lama terjadi dan sejak era digital dimulai hal tersebut menjadi bertambah jelas, “Internet memberi peluang dan fasilitas yang bisa menghubungkan antar pemeluk agama. Bahkan internet juga memberi peluang untuk pemeluk agama minoritas agar tetap bisa menyebarkan nilai-nilai agamanya dengan mudah.” Maka dari itu, Prof. Zakiyuddin menilai bahwa memahami kontestasi di era digital itu lebih kompleks.

Dirinya juga berpesan kepada para peserta agar dapat memanfaatkan internet dengan bijaksana, “Sekarang ini mahasiswa bisa memperoleh sumber belajar yang tidak terbatas dari internet. Tetapi harus diingat dan diwaspadai pula bahwa tidak semua yang ada di internet itu positif, ada pula dampak latennya. Mahasiswa sebagai akademisi harus mampu memilih sumber belajar yang jelas.”

Rektor IAIN Salatiga berharap seminar nasional tersebut bisa memberi pencerahan kepada para peserta, “Saya rasa seminar yang diadakan prodi SPI ini sangat relevan untuk para dosen, mahasiswa, dan guru sejarah guna membantu memahami kontestasi identitas dan otoritas keislaman di Indonesia.”

Pada kesempatan tersebut, Dr. Ahmad Athoillah, M.A. yang merupakan Dewan Kebudayaan Kab. Kulonprogo memberi penjelasan mengenai Sayid Usman bin Yahya dan Gagasan Islam Akomodatif untuk Indonesia. Dirinya menilai Sayid Usman bin Yahya menyebarkan nilai-nilai Islam yang akomodatif, “Kitab yang dibuat Sayid Usman adalah hasil dari komunikasi intelektual dalam realitas. Kerangka dasar pemikiran yang dikembangkan Sayid Usman adalah tetap beragama walau berada di bawah pemerintah kolonial dan menolak pan-islamisme serta wahabi. Intinya, Sayid Usman menyampaikan nilai-nilai Islam yang ideal, koorperatif, akomodatif, dan integratif.”

Selanjutnya dipaparkan pula materi Dinamika Islam di Priangan pada Awal Abad ke-20 oleh Dosen Sejarah UI, Dr. Mohammad Iskandar, M.A. Dalam paparannya Dr. Iskandar menyampaikan pandangan Residen Priangan, Oosthout, bahwa orang Sunda lebih teguh dan bersemangat dalam beragama Islam dibandingkan orang Jawa. Karena itu sebaiknya pemerintah (kolonial di Hindia Belanda) berhati-hati memberikan izin kepada orang Arab untuk memasuki daerah Priangan. “Sejak akhir abad ke-19, gelombang modernisasi/pembaruan Islam masuk ke wilayah Asia Tenggara dan seiring dengan adanya gerakan reformasi Islam muncul juga gerakan nasionalisme,” tambahnya.

Sedangkan pembicara terakhir, Prof. Peter Carey, Ph.D, adjunct Professor UI menjelaskan mengenai perjalanan Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo. “Pangeran Diponegoro bertemu Kiai Mojo sebelum Perang Jawa (1825-1830) pada era Residen Nahyus. Di antara keduanya lalu muncul perselisihan mengenai cara Diponegoro bertindak sebagai Ratu Adil dan taktik perang. Hingga akhirnya, pada Agustus 1827 perselisihan Diponegoro dan Kiai Mojo meluas mengenai hakikat kekuasaan politik antara Diponegoro dan kepala penasihat agama,” urainya.

Dalam laporannya, Kepala Program Studi SPI IAIN Salatiga, Sutrisna, M.Ag mengatakan bahwa seminar tersebut diikuti oleh 113 peserta yang terdiri dari 40 peserta internal, dan 73 peserta perwakilan dari perguruan tinggi di Salatiga dan sekitarnya. “Seminar ini diadakan sebagai salah satu upaya prodi SPI untuk menjawab tantangan di masa revolusi industri 4.0. dan upaya persiapan alih status IAIN Salatiga menjadi universitas,” pungkasnya.