MENDIDIK EMPATI GENERASI MILENIAL

Sejak 2015 kita mengenal istilah Revolusi Industri 4.0. Penandanya ialah penggunaan jejaring maya dalam segala aspek kehidupan (the internet of things). Pemanfaatan selaksa data (big data) untuk berbagai kebutuhan dan pengambilan keputusan dalam waktu segera. Mudahnya, internet sudah menjadi keniscayaan bagi umat manusia di dunia kini dan mendatang. Internet menyerupai jiwa alam semesta. Melaluinya seluruh individu dapat terhubung, berinteraksi dan berkomunikasi. Internet sangat mudah ditemukan di perkantoran, perumahan, sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya.
Internet telah membuka dunia baru yang penuh kemungkinan dan peluang bagi semua warga khususnya generasi milenial yang dilengkapi dengan alat-alat dan ketrampilan berkoneksi dengan internet. Generasi milenial umumnya lebih percaya informasi interaktif daripada informasi searah. Informasi searah itu membosankan. Mereka juga lebih memilih ponsel dibanding televisi. Dengan ponsel dunia dapat dilipat dan cemekel (dalam genggaman mereka). Bagi mereka, memiliki media sosial itu fardu `ain. Rerata mereka memiliki lebih dari satu akun medsos, mulai instagram, twitter, facebook, whatsapp, dll. Sayangnya generasi milenial ini kurang suka membaca secara konvensional dibandingkan generasi pendahulunya (generasi X dan baby boomer). Mereka menyukai informasi instan, singkat, infografis, dan semacamnya yang tidak memerlukan cukup pikiran untuk mencernanya. Generasi milenial juga sudah pasti sangat melek teknologi daripada orang tua mereka karena sudah mengenal/diperkenalkan gadget sejak dalam kandungan. Mereka cenderung kurang loyal, mudah bosan, tidak linear, namun dapat bekerja secara efektif.
Melalui internet mereka mengeksplorasi dan menemukan dunia sekelilingnya. Meskipun ada banyak manfaat dan keuntungan dari internet, sejumlah persoalan dan ancaman internet juga muncul, mulai dari material tanpa sensor hingga dunia maya yang minus regulasi dan nirbatas.
Generasi milenial yang menyukai informasi instan lebih rentan atas kabar bohong. Mereka kehilangan refleksi. Lalu lalang info dan data dikonsumsi nyaris tanpa filter. Hoaks jadi makanan harian. Mereka, dan juga generasi lainnya, kehilangan daya saring dan daya simak. Ini penanda erosi martabat dari homo sapiens menjadi homo videns. Manusia berpikiran dangkal karena lebih suka menonton. Pikiran dikendalikan nafsu kuasa dan naluri kerumunan.
Dalam situasi demikian tentu saja orang tua, guru, dan pendidik menghadapi suatu tantangan baru dalam cara membimbing, mengasuh, dan menjaga anak-anak, remaja dan muda-mudi. Sekarang, mereka juga ditantang untuk terlibat dalam penggunaan internet, tantangan yang belum pernah dialami oleh orang tua zaman dulu.
Walaupun ada banyak teknik dan teknologi yang dapat diadopsi orang tua untuk membimbing, melindungi dan mengawasi anak-anak dalam mempergunakan internet, banyak dari mereka mengalami kesulitan melakukannya. Karenanya penting untuk memahami bagaimana cara orang tua mengarahkan anak-anak dalam menggunakan internet dan faktor-faktor yang membuat mereka sukses melakukan tanggung jawab pengawasan.
Generasi Nirempati
Kini, anak-anak dan remaja di Negara-negara maju dan berkembang hidup dalam dunia di mana koneksi internet cepat telah menjadi norma. Pada saat yang sama, generasi orang tua baru merasakan hadirnya internet dalam 15-20 tahun terakhir. Tentu saja ini melahirkan kesenjangan antardua generasi berbeda. Waktu yang digunakan anak-anak sekarang untuk bermain games komputer dan aktivitas-aktivitas kesenangan online secara signifikan mengurangi kegiatan mereka di luar rumah. Ini berdampak langsung pada watak mereka yang kurang peduli sesama dan lingkungan sekitar. Mereka bersama dalam fisik, namun tidak dalam pikiran dan perasaan. Serasa dekat dengan yang jauh, namun jauh dari yang dekat dan di sampingnya. Phubbing, asyik dengan dirinya, dunianya sendiri serta tak mau tahu dengan sekitarnya.
Ancaman terkait perggunaan internet telah lama dirasakan, dibicarakan dan didiskusikan kalangan orang tua, pendidik, dan para pakar. Internet diakui telah memberikan pengaruh atas kehidupan sosial para penggunanya. Penggunaan internet secara berlebihan dapat mengakibatkan kecanduan internet, termasuk kecanduan permainan dan laman-laman jejaring sosial. Belakangan sudah muncul penyakit kelainan jiwa akibat keranjingan gadget. Demikian pula isu tentang perundungan (bullying) di dunia maya dan kekerasan terhadap anak secara online telah menjadi keprihatinan bersama.
Selain itu, ancaman internet seperti pelanggaran hak cipta, kebanalan seksual akibat kontak dengan internet, pencurian identitas, ketersediaan materi-materi laman yang tidak senonoh, dan yang paling mutakhir adalah cyber-bullying atau kekerasan dunia maya, sering dilaporkan oleh berbagai media.
Kendali Internet dan Parenting
Ancaman-ancaman dari teknologi media baru sebagaimana dikemukakan di atas merupakan sumber kehawatiran dan kepedulian bagi banyak orang tua. Hubungan orang tua-anak terkait penggunaan internet dan komputer memang kompleks, dan merupakan wilayah negosiasi yang terus-menerus dikontestasi antara orang tua dan anak-anak mereka.
Menurut studi Shephard, Arnold, dan Gibbs (2006), 67% orang tua di negara-negara maju telah melakukan semacam pengawasan atas pengunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh anak-anak mereka. Mereka cenderung merasa bahwa satu jam yang digunakan di depan layar komputer sama halnya dengan kehilangan waktu bermain di luar rumah, ngobrol dengan keluarga, membaca buku, aktif dalam kegiatan hobi, dan melakukan pekerjaan rumah. Mereka juga sadar mengenai “biaya yang mesti dibayar” oleh anak-anak mereka karena penggunaan TIK secara berlebihan.
Staksrud and Livingstone (2009) melaporkan bahwa upaya orang tua untuk mengatasi dilema antara keinginan agar anak-anaknya dapat menguasai dunia teknologi baru dan upaya mengawasi penggunaan internet oleh mereka, tampak masih belum memuaskan. Umumnya metode orang tua mengawasi anak-anak melibatkan seperangkat aturan penggunaan internet, terlibat aktif dalam membahas pengalaman menggunakan internet dengan anak-anak mereka, dan monitoring secara melekat. Orang tua juga perlu memahami lebih baik tentang persepsi anak-anak mengenai risiko internet dan menolong mereka untuk mengembangkan strategi dalam menghadapinya.
Sejumlah teknologi telah tersedia untuk membantu orang tua memonitor dan mengawasi penggunaan internet oleh anak-anak mereka. Teknologi ini juga membantu untuk mempermudah tugas orang tua dan meminimalkan konflik orang tua-anak akibat tindakan pengendalian dan pengawasan. Meski demikian, teknologi filter dan penguncian tidak seefektif yang mereka harapkan. Misalnya, teknologi filter tidak selalu dapat menutup akses pada situs-situs yang berisiko, dan bahkan seringkali teknologi filter juga menutup situs-situs yang kurang begitu berbahaya.
Mengontrol penggunaan internet membutuhkan pengetahuan teknologi sekaligus ketrampilan parenting yang kondusif untuk membuka komunikasi antara orang tua dan anak. Setidaknya ada beberapa strategi yang bisa ditawarkan di sini antara lain: Pertama, orang tua harus membiasakan dialog terbuka dan ramah dengan anak-anak mereka mengenai sejumlah sisi positif dan negatif internet dan dunia maya. Tindakan melarang dan menghakimi secara hitam-putih bukan saja dapat merusak hubungan orang tua-anak, bahkan anak-anak akan merasa dibelenggu dalam “kerangkeng” yang membosankan.
Kedua, orang tua mesti menolong anak-anak untuk melindungi privasi dari kegiatan online mereka agar anak-anak tidak merasa diintervensi kebebasannya. Menghargai privasi anak-anak akan melahirkan sikap penghargaan pula atas orang tua mereka. Sehingga batasan-batasan yang dikehendaki orang tua pun akan dapat dipahami anak-anak.
Ketiga, orang tua perlu mengembangkan strategi jalan keluar dari masalah ini. Karena itu, orang tua bukan hanya perlu mengetahui tentang hardware dan software untuk memfilter muatan situs dan virus, bahkan juga mampu menguasainya sehingga mereka dapat mempergunakan teknologi semacam itu untuk mengawasi dan mengendalikan penggunaan internet anak-anak mereka. Demikianlah, kendali dan pengawasan orang tua atas penggunaan internet anak-anak kini telah menjadi bagian dari gaya parenting yang mencakup spektrum aktivitas anak-anak dan hubungan saling pengaruh antara orang tua dan anak.

Karakter Empati

Implikasi negatif internet ialah menyajikan sarana perundungan. Melalui ponsel, pesan teks, posting foto, obrolan, email, instant messenger, blog online, game multiplayer, web jejaring sosial, youtube dll, generasi milenial berpotensi melakukan perundungan baik secara halus maupun vulgar. Dan tentu saja itu semua dapat berdampak yang membahayakan fisik maupun situasi yang mengancam kehidupan.
Ada banyak bentuk perundungan yang difasilitasi teknologi internet antara lain. Pertama, pelecehan dapat terjadi ketika perundungan dilakukan dengan cara mengirim pesan-pesan kasar, mengancam, atau menyerang orang lain, bahkan mempostingnya pada laman-laman publik. Kedua, flaming dapat terjadi ketika percakapan online meningkat kearah penggunaan bahasa yang kasar dalam berargumen. Ketiga, fitnah terjadi ketika seseorang memposting komentar-komentar negatif dan menghina korban sehingga membahayakan nama baik yang bersangkutan. Kelima, impersonasi terjadi pada saat seseorang menyerang orang lain melalui pesan-pesan merusak dengan cara menggunakan identitas fiktif/palsu. Keenam, outing terjadi ketika suatu informasi yang benar dari seseorang dibagikan secara online padahal yang bersangkutan tidak menghendaki informasi tersebut untuk konsumsi publik. Ketujuh, eksklusi terjadi ketika seseorang secara sengaja mengeluarkan orang lain dari kelompok media sosial online sehingga korban merasa terkucilkan dan tertolak. Kedelapan, pengintaian terjadi pada saat seseorang membangun hubungan yang tidak dikehendaki dengan orang lain yang sedang online sehingga korban merasa terancam hidupnya. Termasuk di dalamnya ialah mengirim pesan mengancam yang sengaja untuk mengintimidasi korban.
Semua jenis perundungan tersebut dapat menyebabkan rendahnya harga diri korban, menurunnya prestasi sekolah dan akademik, meningkatnya angka drop out, sekaligus depresi dan gangguan afektif lainnya. Dari segi pelaku, semua tindakan perundungan itu jika terjadi berulang-ulang akan menyebabkan hilangnya karakter bijak-bajik, sensitifitas dan kepedulian sosial. Itulah defisit empati pada generasi milenial.
Empati merupakan karakter positif. “Empati adalah kemampuan untuk mengakui, memahami dan berbagi perasaan dengan orang lain, layaknya berjalan di dalam sepatu milik orang lain” (Sumer, 2015). Empati ialah cara kita berinteraksi dan merasakan dunia sekitar kita. Belum banyak orang tahu tentang pentingnya empati dalam menumbuhkan kesejahteraan jiwa dan spiritual. Empati membuat kita sadar atas situasi orang lain, mau mendengar darinya, dan merespon perasaannya untuk menunjukkan bahwa kita dapat memahaminya secara tepat. Empati dapat mengubah hubungan sosial dengan sesama karena anda menjadi lebih arif dan bijak dalam memahami persoalan orang lain. Empati adalah kunci utama untuk menjadi pasangan suami/istri, orang tua, guru, dan teman yang lebih baik.
Tujuan utama menunjukkan karakter empati adalah untuk memperbaiki kehidupan anda agar selaras dengan kehidupan orang lain, dengan menyebarkan benih-benih kepedulian, perhatian dan berbagi. Berempati bukan berarti anda meletakkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan anda sendiri. Berempati mengantarkan anda pada pengambilan keputusan yang lebih efektif dan menunjukkan bahwa anda peduli.
Empati dalam Islam merupakan akhlak mulia, karakter utama. Sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad bahwa ada empat karakter utama yang menjamin keselamatan manusia. Empat karakter itu mencerminkan empati dalam makna yang komprehensif, utuh. Pertama, hayyinun: individu yang empati memiliki ketenangan dan keteduhan lahir dan batin (nafs muthmainah). Jiwa yang tenang menjadi asas utama bagi lahirnya empati. Berlatihlah untuk mengendalikan emosi dalam situasi yang sulit dan sempit, hingga anda tidak mudah goyah dan tidak mudah marah. Bersikap dan bertindak penuh pertimbangan. Tidak grasa grusu. Tidak mudah memaki, mencela, melaknat orang lain. Jiwa yang tenang, emosi yang teduh membangkitkan empati yang menentramkan.
Kedua, Layyinun: individu yang empati menunjukkan sifat nirkekerasan. Kekerasan baik verbal, fisikal, dan psikis, bukan cermin rahmat dan nikmat. Individu perlu secara terus menerus melatih karakter lemah lembut dan sopan santun baik dalam tutur kata maupun sikap dan tindakan. Tidak berlaku kasar dan tidak semaunya sendiri. Tidak galak dan tidak suka memarahi orang lain yang berbeda pandangan. Tidak suka melakukan pemaksaan termasuk pemaksaan pendapat. Sikap dan tindak tanduknya jauh dari kekerasan fisik maupun non fisik. Selalu menginginkan kebaikan untuk sesama manusia dan lingkungan.
Ketiga, Qaribun: individu yang empati memiliki karakter akrab, karib. Akrab mengandung dimensi relasi sosial. Relasi sosial yang berkeadaban dapat dibangun melalui sikap ramah ketika diajak bicara dan menyenangkan bagi orang yang diajak bicara. Wajahnya berseri-seri dan murah senyum jika bersua dan saling sapa, serta terbiasa menebar salam dan kedamaian kepada semua makhluk.
Terakhir, Sahlun: individu yang empati selalu mempermudah, tidak mempersulit sesuatu dan seseorang. Sikapnya optimistik, tidak ada permasalahan yang tidak ada solusinya. Tidak suka berbelit belit, tidak menyusahkan dan tidak membuat orang lain susah. Mengapa mudah dan memudahkan orang lain? Karena orang lain adalah saudara kita, bagian dari keluarga kita. Umat manusia adalah keluarga besar yang satu. Salah satu ucapan mulia ketika kita berjumpa sesama ialah “ahlan wa sahlan”. Anda adalah bagian dari keluarga kami, maka segalanya menjadi mudah buat anda. Wallahu a`lam.

 

Zakiyuddin Baidhawy