Guru Besar IAIN Salatiga Bertambah

Prof. Dr. H. Zakiyuddin, M.Ag menambah jumlah guru besar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga bidang Studi Islam. Saat ini IAIN Salatiga memiliki 4 guru besar. Zakiyuddin sebenarnya profesor ke-7 IAIN, namun 3 guru besar lain sudah memasuki masa pensiun.

Pengukuhan dilaksanakan oleh Rektor IAIN Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. di Aula Kampus I IAIN jalan Tentara Pelajar, kemarin pagi. Dalam kesempatan tersebut, rektor berharap dosen muda di bawah lembaganya dapat menyusul gelar profesor. “Dahulu kita sering mendapatkan cerita bahwa seorang gelar profesor itu disandang oleh orang yang sudah tua, rambut sudah putih dan pelupa,” terang Rahmat.

Oleh karenanya, Rahmat berharap para dosen muda dapat mengejar gelar profesor, agar kasusnya tidak seperti cerita tadi. Jika profesor banyak disandang oleh dosen muda maka, akan ada rentang waktu panjang dalam mengembangkan lembaga. Gelar profesor sangat penting untuk menambah bobot lembaga dan menjadi tanggung jawab keilmuan kepada publik.

Zakiyuddin dikukuhkan sebagai guru besar Bidang Ilmu Studi Islam. Ia membawakan orasi ilmiah berjudul “Telusur Jejak Genealogis Terorisme dan Implikasinya Bagi Studi Islam Indonesia”.

“Dengan menelusuri jejak-jejak terorisme dan kekerasan di barat dan timur, termasuk Islam, kita dapat mengatakan bahwa persoalan utama terorisme dan kekerasan di dunia Islam adalah reaksi atas kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan barat, dan khususnya keberpihakan barat dalam konflik Israel-Palestina,” kata Zakiyuddin.

Menurutnya, sebagaimana di negara barat, terorisme di dunia Islam pertama-pertama justru dilakukan oleh ‘aktor negara’ (state terrorism) yang otoriter. Sementara itu,  terorisme sipil terjadi ketika kebebasan mereka ditekan, dan pada saatnya melahirkan perlawanan dan pemberontakan atas para penindasnya. “Jadi, semua problem tersebut melahirkan terorisme bukan semata untuk melawan barat, namun juga untuk melawan tatanan politik kawasan  yang tidak berkeadilan,” terangnya.

Prof. Zakiyuddin menambahkan, bahwa studi Islam secara interdisipliner dan transdisipliner bertanggung jawab mengidentifikasi perilaku dan kombinasi perilaku sebagai indikator radikalisasi dan mobilisasi yang mengarah pada aksi teror. Banyak lintasan dan dinamika dalam proses radikalisasi dan mobilisasi. Keduanya bukanlah proses sederhana.

“Melalui pemahaman mendalam tentang proses dan melibatkan pendekatan interdisipliner dan transdisipliner kita berharap radikalisme dan terorisme dapat diurai, dan kita juga dapat mengembangkan strategi counter radikalisme-terorisme secara lebih efektif,” ujarnya. (zid/humas)