PERPUSTAKAAN DAN PERGURUAN TINGGI: MENGUBAH “SAMPAH” MENJADI “EMAS”

Oleh: Wiji Suwarno – STAIN Salatiga

Suatu ketika, pada saat penulis asyik “berlayar” di lautan maya yang syarat dengan informasi, sempat dibuat tertegun pada satu naskah dialog inspiratif yang kemudian membuat ketertarikan penulis untuk mengunduhnya dan keinginan berbagi kisahnya. Dialog ini nampak sederhana, tidak meng-hiperbola-kan suatu fakta, melainkan justru berkesan merespon fenomena yang saat ini sedang terjadi di berbagai perguruan tinggi yang setiap tahun menerima mahasiswa baru.

Berikut sedikit kisah itu yang penulis bahasakan kembali dengan bahasa penulis dengan maksud agar lebih mudah dibaca tanpa mengubah substansi dialognya.

Guru dan siswa

Suatu ketika seorang guru bijak dari wilayah Ju, China ditanya oleh siswanya yang kebetulan akan memasuki masa akhir studi dan tentunya sambil bersiap diri melanjutkan studi ke fase berikutnya. Murid itu bertanya: “Seperti apakah sesungguhnya Perguruan yg benar-benar unggul itu?, soalnya ni pak ya, saat ini tu banyak perguruan yang mengklaim dirinya unggulan, favorit, the best, atau pokoknya yang baik-baik gitu.”
Guru yang ditanya tersenyum pertanda senang ada siswanya yang bertanya cerdas pada situasi yang memang seharusnya menjadi pemikiran setiap orang yang akan memilih perguruan tinggi untuk studi lanjut. Guru bijak itu termenung sejenak, kemudian dengan lembut dan penuh kasih guru itu pun menjawab:

“Wah…pertanyaan bagus itu muridku!. Baik akan kami jawab ya. Kalau kami punya pemikiran begini: sesungguhnya perguruan yang unggul itu adalah perguruan yang tidak melakukan proses seleksi pada calon mahasiswanya nanti, tapi justru proses seleksi itu mestinya dilakukan pada orang tua yang akan mengirim anaknya untuk dididik di sana.”

“Lhoo kok begitu guru, apa orang tua itu juga akan ikut kuliah?” Sela siswa yang bertanya tadi.

“Ooo bukan begitu maksudnya, tapi menyeleksi sejauh mana atau seperti apakah nanti orang tuanya mau bekerjasama dengan baik dengan pihak perguruan dalam mendidik anaknya, atau hanya menyerahkan semua urusan pada pihak perguruan saja.”

“Mengapa demikian guru….?” tanya para muridnya.

Kembali san guru termenung sejenak, dan kemudian menjawab:
“Murid-muridku, Sesungguhnya mesin yang hebat dan unggul itu adalah mesin yang mampu mengubah sampah menjadi emas. Bukan bahan mentah sampah tapi keluar dari mesin tetap menjadi sampah. Jadi maksudnya, perguruan tinggi yang baik itu adalah perguruan tinggi yang mampu mengubah siapapun mahasiswanya nanti bisa menemukan dan memupuk potensi emasnya di dalam proses pembelajaran itu dan kelak ketika sudah lulus, mahasiswa itu menjadi orang yang unggul dan bahkan mempunyai nilai jual layaknya emas. Artinya mahasiswa itu mempunyai keunggulan baik dari segi ilmu, moral dan keahlian yang dimilikinya “.

Tiba-tiba seorang murid diantara mereka bertanya;
“Guru, lalu bagaimana jika ada Perguruan yang terkenal, yang katanya unggulan/favorit tapi melakukan seleksi pada para calon mahasiswanya…?”
Sang guru bijak menarik nafas dalam-dalam, dan sambil menepuk-nepuk bahu siswanya yang bertanya tadi, dan sang guru bijak itupun berkata;
“Jadi jika memang kamu menemukan sebuah perguruan yang melakukan seleksi dan memilih-milih siapa anak yang akan diterima menjadi mahasiswanya dari kelompok yang menurutnya bibit unggul, manurut kami jelas itu bukan sekolah unggulan namanya. Melainkan sekolah yang biasa-biasa saja tapi mengaku-ngaku unggul.”
“Mengapa demikian guru…?” tanya si murid tadi.
Sambil tersenyum guru itupun berkata;
“Jika memang hanya memilih dari bahan baku emas untuk dicetak kembali menjadi emas, secara logika itu tidak perlu lagi mesin hebat dan luar biasa. toh setiap tukang emas di pasar juga bisa melakukannya, tidak ada istimewanya. Tapi coba dipikirkan jika ada mesin yang benar-benar mampu merubah sampah-sampah yang tidak berguna itu menjadi emas, bukankah orang akan merasa takjub?”

Bagaimana dengan perpustakaan?

Perpustakaan perguruan tinggi adalah bagian dari system akademis perguruan tinggi yang menunjang keberhasilan proses KBM di dalamnya. Tugas utamanya adalah memfasilitasi dan memberikan informasi yang dibutuhkan seluruh sivitas akademik untuk kepentingan studinya.
Kaitannya dengan “sampah” tadi, perpustakaan melihat ada beberapa pemaknaan tentang sampah itu sendiri, pertama, bahwa cukup prihatin memang jika dikatakan bahwa perpustakaan itu penting tapi “kalau yang menilai itu orang-orang perpustakaan”, dan sangat mungkin perpustakaan itu tidak penting jika orang diluar perpustakaan itu yang berfikir. Sungguh tugas berat perpustakaan untuk menyamakan anggapan itu sekaligus meyakinkan kepada masyarakat bahwa perpustakaan itu sangat penting. Apalagi sebagian pemikiran masyarakatpun terlanjur dituangi anggapan jika perpustakaan itu menjadi tempat “sampah” bagi orang-orang yang tidak produktif di bagian tertentu, dan akhirnya di tugaskan di perpustakaan. Perpustakaan layaknya panti rehabilitasi orang-orang yang bermasalah di bagian lain, dan akan diambil lagi kalau sudah benar-benar menjadi pegawai yang baik.

Maka sejak UU No.43 Tahun 2007 tentang perpustakaan ini hadir, perpustakaan perlahan menggeliat untuk mampu mengubah paradigm “sampah” itu menjadi “emas” bagi lembaga penaungnya.

Kedua, bahwa perpustakaan ini seringkali dianggap sebagai tempatnya buku-buku lusuh, dan mengoleksi informasi “sampah” yang tidak banyak digunakan. Maka sejalan dengan perkembangannya, perpustakaan mulai berbenah dan menata diri sedemikian rupa, sehingga perpustakaan dapat memiliki peran besar dalam menyajikan informasi bagi penggunanya. Perpustakaan sudah saatnya mampu memilah dan memilih informasi-informasi yang mutakhir dan update sehinga bisa dimaksimalkan oleh pengguna, dan informasinya dapat dimanfaatkan menjadi informasi yang benar-benar terbaca dan bermanfaat bagi pemustaka yang membutuhkannya.