Pembelajaran Bahasa Arab Sepanjang Sejarah

Oleh: Sri Guno Najib Chaqoqo, STAIN Salatiga

Ekspansi budaya tidak akan lepas dari penetrasi bahasa kepada wilayah sasaran.  Tidak terkecuali ekspansi  ‘wilayah dakwah’ Islam sebagai bagian dari perluasan yang menjadi konsekuensi misi suci  agama. Penulis sengaja menggunakan istilah wilayah dakwah, karena diyakini misi memperluas wilayah ini hanyalah bagian dari misi menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat, tidak saja bangsa Arab. Kajian politik akan membingkai ekspansi ini sebagai bagian memperluas wilayah kekuasaan. Konsep inilah yang menjadi barometer keberhasilan banyak orang yang beranggapan bahwa  Islam akan  jaya dengan menjadi penguasa politik.

Penetrasi tentara Islam pada masa awal berimplikasi pada menyebarnya Bahasa Arab ke seantero wilayah bulan sabit yang menjadi sasaran awal. Berbeda dengan sejarah nusantara yang oleh beberapa kalangan diyakini telah menjadi bagian penetrasi Arab Islam pada masa awal, sekitar awab ke-7, ekspansi wilayah di semenanjung jazirah Arab diyakini kental dengan nuansa politik sebagaimana ditulis oleh para ahli sejarah. Bahasa Arab menjadi bagian signifikan, tidak saja sebagai bahasa ibadah (shalat) tetapi juga sebagai bahasa pergaulan yang dalam beberapa hal menyangkut politik kekuasaan, di mana banyak orang yang merasa harus bisa berbahasa Arab demi bisa menjadi bagian dari pemerintahan yang dikendalikan oleh Arab Islam.

Di Indonesia, penetrasi budaya Arab Islam tidak sampai pada ‘memaksakan’ bahasa Arab sebagai bahasa agama.  Bahasa Arab pada masa penyebaran Islam awal hanya dipahami sebagai bahasa ibadah, yang dengan demikian tidak  harus dipraktikkan dalam pergaulan sehari-hari.  Fleksibilitas para pendakwah awal Islam bisa jadi karena mereka telah membaca situasi dengan sangat cermat, bahwa budaya di Indonesia sangat terbuka dan fleksibel terhadap perubahan, tetapi pada saat yang sama juga sangat fanatic.

Jika tesis ini benar, maka pembelajaran bahasa Arab pada masa awal Islam, sangat tergantung pada situasi dan kondisi politik yang mengitarinya. Tentu termasuk di dalamnya adalah termasuk keterbacaan budaya dengan sangat jelas. Budaya di gurun pasir yang keras, dengan track record tradisi sastra dan hapalan yang sangat kuat, menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang menjanjikan untuk menyalurkan atmosfir budaya secara terarah. Ini bisa ditelusuri kepada tradisi sastra yang telah ada sebelumnya di semenanjung Arab melalui berbagai festival budaya dengan panggung puisi dan bersyair.

Ketertarikan orang di Persia, sebagai missal, kepada bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan, bisa membutkikan bahwa bahasa Arab pada masa awal tidak saja dipahami sebagai bahasa untuk beribadah, namun bisa dikembangkan menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Maka di sana kemudian muncul berbagai macam karya ilmiah monumental yang kemudian menandai  kemajuan awal peradaban Islam. Hingga pada pembukuan kronologi pembelajaran bahasa Arab, utamanya adalah nahwu, oleh beberapa cendekiawan dan ulama muslim kenamaan dalam beberapa karya mereka. Hal ini ditambah dengan munculnya berbagai mazhab nahwu pada masa itu.

Dan di Indonesia, hingga hari ini, di banyak pesantren salat, Bahasa Arab dipahami sebagai bahasa agama yang berimplikasi untuk tidak secara aktif menggunakannya untuk berkomunikasi. Ini kemudian melahirkan regenerasi keilmuan di pesantren berdasar kitab-kitab turots (kuning) tanpa harus dibebani kemampuan berkomunikasi dengan orang penutur asli, yang bahkan sudah tidak lagi menggunakan bahasa Arab yang dipelajari di banyak pesantren di Indonesia. Namun tetap saja perkembangan zaman meniscayakan banyak orang dan lembaga, bahwa kegiatan berbahasa tidaklah dianggap absah jikalau tidak menggunakannya dalam berkomunikasi aktif.

Proses produksi dan reproduksi, dengan demikian, membedakan antara pembelajaran bahasa Arab pada masa awal penyebara Islam di belahan dunia lain dengan di Indonesia. Di Persia, sebagai tempat awal penyebaran bahasa Arab, dihasilkan produksi keilmuan bahasa Arab. Sedangkan di Indonesia, dan mungkin di wilayah semenanjung Melayu, proses pembelajaran bahasa Arab memungkinkan reproduksinya dengan seumber hasil produksi pada masa awal penyebarannya.  Proses produksi keilmuan nahwu pada masa awal sangat dimungkinkan karena potensi untuk mengkonfirmasi bahasa kepada penutur asli sangat besar. Sedangkan di Indonesia akan banyak menemui kesulitan, pada masa itu, untuk mengkonfirmasi langsung kepada penutur aslinya. Wallahua’lam bisshawab.(srigunonajib)