Orang Jawa Mengajar Anak Bugis hingga Toraja di Malaysia

Ana – Siti Nurkhasanah, mahasiswi International Class Program STAIN Salatiga.

Perhatian pemerintah Indonesia untuk memperluas akses-akses pendidikan nampak semakin meluas. Namun apabila tidak diimbangi dengan pemerataan fasilitas dan pemberian motivasi kepada masyarakat untuk menyadari esensi pendidikan, maka target yang dicapai masih jauh dari harapan. Hal ini seperti yang terjadi pada anak-anak bangsa yang berada di negeri Sabah, Malaysia.

Sejak adanya Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) sebagai center point education di Sabah pada 1 Desember 2008 akses pendidikan mulai berkembang hingga ladang sawit, pelosok daerah dan pegunungan  yang disebut ‘Sekolah Ladang’ nama lain dari CLC (Community Learning Center) sebagai bentuk non-formal education dari SD hingga SMP. Mulai meningkatnya jumlah CLC dari tahun ke tahun merupakan usaha keras yang telah dilakukan oleh Soepeno Sahid selaku Konsul Jenderal RI Kota Kinabalu serta Dadang Hermawan, M.Ed. Kepala SIKK.

Upaya yang akan KJRI lakukan untuk menghadapi masalah sekarang ini berkaitan kuantitas dimana Bapak Konjen akan menumbuhkan CLC sebanyak-banyaknya. Kemudian langkah kedepan baru masalah kualitas. Terlebih saya merasa terharu ketika mengajar mereka di kelas yang masih menyewa dan di kawasan pertokoan berbentuk ruko di Lot No. 47 Ground Floor, 47 – 51 1st Floor, Block H Alamesra Plaza Utama Lorong Plaza Utama 1, Jalan Sulaman 88400 Kota Kinabalu.

Fakta Kondisi Sekolah

Kondisi ini masih belum memadai antara jumlah anak usia sekolah di Sabah dengan jumlah sekolah yang ada, kemudian CLC masih menggunakan system UN Paket A dan B. Berdasarkan data yang saya perolah dari Tetik Atikah, S.Pd. selaku WK Kurikulm, untuk tahun ajaran baru 2013-2014, jumlah CLC mencapai 146 yang mampu menampung sekitar 18.000 anak dari 53.000 anak bangsa usia sekolah di Sabah dan SIKK sebagai induknya kini telah memiliki 419 SD, 111 SMP dan 57 siswa-siswi SMA kelas X angkatan pertama.

“Berdasarkan UUD RI Bab XIII Pasal 31 ayat 1 dan 2 ‘Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.’ Maka dari itu berdirinya CLC merupakan salah satu upaya untuk memberi akses pendidikan dasar terlebih mereka adalah anak-anak dari pahlawan devisa yang bekerja di Ladang Sawit maupun pabrik yang kemudian berkeluarga”, ungkap Bapak Konjen saat menyambut kedatangan saya dan tiga teman mahasiswa praktikan dari STAIN Salatiga.

Bapak Dadang yang membimbing PPL kami hingga hari ini senantiasa memberikan pesan bahwa, “Setiap anak adalah unik dan setiap dari mereka memiliki potensi luar biasa asalkan kami selaku pendidik tak lelah untuk berjuang dari subuh hingga isya’ untuk memotivasi dan memfasilitasi mereka bahwa mereka tidak kalah dengan siswa-siswa seperti di Kota besar Indonesia meski dengan keterbatasan fasilitas mereka bisa berprestasi”.

Inilah yang membuat SIKK merupakan SILN (Sekolah Indonesia Luar Negeri) yang paling unik diantara 15 sekolah Indonesia di dunia. Tujuan utama didirikannya SILN pada awalnya untuk menyekolahkan anak-anak Kedutaan atau Konsulat Jenderal RI yang bertugas di luar negeri seperti di Kuala Lumpur, Bangkok, Singapore, Yangon, Jedah, Belanda dan lain-lain termasuk di Kota Kinabalu. Namun satu sekolah yang mampu mewadahi anak-anak pahlawan devisa hanyalah SIKK.

Pendekatan Realistis Menumbuhkan Kesadaran Pendidikan

Anak-anak TKI tersebut kebanyakan dari Bugis, Tanah Toraja Sulawesi hingga Flores NTT, dan Jawa seperti Madiun. Saat pertama kalinya mengajar, saya yang dari Jawa harus segera menyesuaikan bahasa dan mengubah mindset mereka yang awalnya memilih kerja daripada sekolah. Sebenarnya mereka sangat realistis dan income di Malaysia relatif tinggi, ini yang menyebabkan kesadaran akan pentingnya pendidikan anak bangsa di sabah butuh perhatian khusus. Disisi lain mereka memiliki semangat yang tinggi untuk sekolah namun mereka terbatas di biaya sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja.

“Disini buk kalau satu jam saja kerja kita bisa mendapatkan 7 RM, makanya jangan heran jika teman-teman saya jarang berangkat ke kelas dan kadang tanpa izin itu sudah biasa.” Kata Yufri Yulius Victor, siswa kelas X SIKK dari CLC Tomanggong.

Saat Yufri berkata seperti itu langsung kujawab, “Kalau kamu bekerja terus tidak bisa menghitung berapa gaji yang seharusnya kamu terima dari majikanmu atau bos kamu menguranginya gimana nak? Kalau kamu pandai berhitung, maka kamu tak bisa dibohongi”. Penyadaran pentingnya pendidikan bagi anak-anak di Sabah tidak bisa dilakukan secara idealis ataupun akademis tetapi membutuhkan pendekatan yang realistis dengan menggunakan analogi.

Sungguh ironis jika negeri tetangga yang dulunya berbondong-bondong belajar ke bumi pertiwi, kini negeri Jiran tersebut jauh lebih maju dan mereka menyebut kami suku ‘Indon’ yang biasanya jadi sopir bis, buruh pabrik atau pekerja ladang sawit. Padahal orang Malaysia biasanya sangat menghormati WNI yang menjadi ‘cik-gu’. Semoga pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI segera membantu SIKK dalam pemenuhan fasilitas pendidikan terutama menambah CLC sebanyak mungkin serta menambah jumlah tenaga kependidikan untuk mengabdi dan mengharumkan anak Indonesia di Sabah.