Menjadi Ilmuwan di Era Matinya Kepakaran

Di era disrupsi, akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi semakin mudah dan cepat. Hal ini mengakibatkan kecenderungan masyarakat lebih suka memilih mengakses secara sumber pengetahuan secara instan. Akibatnya semakin sulit membedakan antara seorang yang pakar dan tidak, karena semua orang dapat berkomentar dan berpendapat isu apapun di media sosial.

Untuk mengupas fenomena tersebut, kali ini redaksi berkesempatan mewawancarai seorang Guru Besar, Prof. Dr. H. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag (Rektor IAIN Salatiga). Berikut adalah hasil wawancaranya:

Menurut Anda, apa yang menjadi tantangan para ilmuwan hari ini?

Hal yang menjadi tantangan serius adalah era distrupsi. Fenomena disrupsi, yakni situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat dan fundamental. Mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Baik itu dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, dan pendidikan/keilmuan.

Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif.

Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual.

Lalu bagaimana peran guru atau dosen, apakah akan tergantikan oleh teknologi?

Dalam banyak hal mungkin iya. Peran pendidik akan berubah dari sumber belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa yang dibutuhkan pada masa depan.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa digantikan oleh digital, yaitu karakter, kearifan dan spiritualitas. Budaya seperti: empati, altruism, tolong-menolong tidak bisa digantikan mesin/digital.

Jadi, fungsi pendidik bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram. Banyak orang berpengetahuan, tetapi tuna etika.

Lalu, apa dampak era distrupsi bagi ilmuwan di tengah masyarakat?

Hal yang sangat nampak akhir-akhir ini adalah adanya kecenderungan ignorance (kedunguan) serta kegandrungan pada literasi instan yang menggejala secara massif sehingga kepakaran terancam mati.

Dengan kata lain, expertise (kepakaran) yang dimaksud adalah keahlian dalam bidang keilmuwan seolah-olah tidak lagi dibutuhkan masyarakat. Masyarakat merasa tidak penting kehadiran akademisi atau intelektual di dunia pendidikan dan kampus, karena internet menjawab semuanya.

Ironinya hal ini jika sampai berimplikasi pada buku menjadi tidak penting. Karena mereka cukup menjadi jama’ah Youtube, Facebook, InstaGram dan WhatsApp. Dengan adanya medsos: semua orang bisa berkomentar berbagai topik dan menyebarkan pengetahuan sesukanya. Tidak dapat dilihat, mana yang pakar dan mana yang tidak, karena semua seakan merasa menjadi pakar dengan semua tema-tema di media sosial.

Lalu bagaimana dengan nasib buku, kalau semuanya serba digital?

Kalau dalam tradisi Islam, menulis buku, mempertahankan tradisi intelektual, dan idealisme ilmu adalah perjuangan yang melelahkan. Salah satu cara memahami keindahan Islam adalah dengan melihat tradisi intelektual yang begitu kuat. Mungkin kita jarang tahu kalau Ibnu Taimiyah mempunyai tradisi, kalau setiap malam tidak pernah tidak menulis. Ini perlu kita teladani. Jangan sampai kepakaran mati karena gatget.

Sebab, ketiadaan tradisi menulis buku dan mewariskan ilmu adalah tanda kematian kepakaran. Karena itu seorang ilmuwan atau akademisi harus memiliki semangat jihad intelektual.

Apa itu jihad intelektual?

Yang jelas bukan jihad dengan pedang, tetapi jihad dengan hujjah dan agumentasi. Para akademisi harus memiliki jihad intelektual. Meskipun sukar jalannya dan sepi pengikutnya, fokus mengerahkan segela kemampuan intelektual untuk terus berkarya. Karena itu jihad ini bisa disebut dengan jihad akbar.

Lalu bagaimana dengan otoritas ilmuwan studi Islam di tengah maraknya literasi keagamaan di internet?

Menurut saya hari ini internet berperan dalam membentuk, mengonseptualisasi, dan memperluas keterlibatan agama para penggunanya dan mendotong interaksi bermotif spiritual, baik secara online maupun offline.

Kini bahkan para pengguna internet telah mendefinisikan internet sebagai “ruang suci” (sacred space) dalam rangka mengimpor ritual-ritual tradisional secara online, berbagai aktivitas keagamaan, dan menghubungkan pemeluk agama dengan situs-situs keagamaan, festival, dan sesamanya, dan menciptakan bentuk-bentuk keagamaan baru.

Bisakah internet menjadi sumber kepakaran atau otoritas keagamaan baru?

Internet memang memberikan ruang yang bebas bagi agama untuk bergerak karena hampir tanpa ikatan dan batasan. Kini internet juga menyerupai kaleidoskop agama, pemikiran keagamaan, ritual dan praktek keagamaan. Webmaster, admin, desainer web menciptakan suatu kelas baru: pemimpin dan penafsir keagamaan online, yang dapat berseberangan dengan figur dan pemimpin keagamaan tradisional.

Agama di internet kini menjadi corong bagi orang-orang yang dulu diam untuk bicara tentang agama, dan menawarkan interaksi antara pembaca dan penulis, serta menciptakan cara berpikir baru tentang agama.

Lalu apa implikasinya bagi kehidupan beragama?

Karena, internet menyediakan platform tanpa batas bagi ekspresi dan sirkulasi kepercayaan-kepercayaan, maka internet mampu mendefinisikan dan mengkerangkai apa itu agama dan apa unsur-unsurnya yang dipandang penting dalam masyarakat.

Selain itu, internet menyediakan guide spiritual (panduan beragama), orientasi moral, ritus ritus dan komunitas. Bahkan menciptakan agama tanpa tempat dan komunitas peribadatan: Muslim tanpa masjid (Kuntowijoyo), Kristen tanpa gereja, Budhis tanpa vihara, Hindu tanpa pura, dst.

Sumber : ibtimes.id