Sikap Mukmin terhadap Isu Tidak Jelas (Haditsul Ifki)

Oleh: Ahmad Mifdlol Muthohar – STAIN Salatiga

Ketika dakwah telah mengalami perkembangan pesat, sudah pasti akan menyebabkan banyak musuh-musuh Allah yang marah. Dengan segala upaya mereka akan menghambat laju perkembangan dakwah tersebut. Itulah yang pernah terjadi pada Ummul Mukminin Aisyah. Di saat perang fisik tidak mampu menghantam shaf dakwah, maka upaya musuh-musuh Allah berpindah menuju perang psikis, atau dalam bahasa Munir Ghadhban “Al-Harbu al-Ma’nawiyyah”. Dan sasaran tembak yang tepat adalah keluarga Rasul sendiri, yakni Aisyah, isteri beliau.

Yang menarik dari kisah ibunda di atas adalah pernyataan Allah setelah melakukan pembelaan tentang kebenaran Aisyah, adalah “jangan sampai isu seperti ini terjadi lagi pada shaf jamaah kaum mukmin”. Pernyataan itu berlaku sampai sekarang dan hingga yaumil qiyaamah. Jangan sampai ada shaf dakwah lebih mengedepankan hawa nafsu dibanding akal sehat.

Sebagaimana difahami bahwa semua level pimpinan (qiyadah) dalam dakwah, memiliki kewajiban untuk menjauhkan diri dari posisi yang menjadikan dirinya dapat tertuduh (mauqi’ut-tuhmah). Namun jika tuduhan itu benar-benar telah terjadi maka ada beberapa hal yang harus dilakukan setiap mukmin dalam bersikap. Itulah yang diajarkan oleh Allah pada umat Islam masa Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ada peristiwa pemfitnahan Aisyah, isteri Rasul. Dalam sejarah, kisah tersebut diistilahkan dengan “haditsul ifki” atau berita bohong. “Haditsul Ifki”  adalah istilah yang muncul setelah ada klarifikasi pembelaan Allah ta’ala terhadap Aisyah, yaitu melalui turunnya surat An-Nur:11. Adapun sebelum turun ayat tersebut, isu tentang pemfitnahan Aisyah itu sangat tidak jelas, liar, menggelinding begitu saja. Karenanya artikel ini diberi judul Sikap Mukmin terhadap Isu Tidak Jelas. Isu tersebut pada masa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dihembuskan oleh kaum munafikin dan mendapat sambutan sebagian mukmin yang hatinya sakit. Hingga akhirnya dapat membentuk opini yang mendiskreditkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai (qiyadah ‘ulya) umat Islam.

Adapun Beberapa hal yang perlu diambil pelajaran dari kisah merebaknya isu tidak jelas seputar haditsul ifki  di kalangan shaf kaum mukmin adalah:

  1. Tidak ikut menyebarkan, mendukung para pembawa isu atau mengiyakan isu yang belum jelas tersebut. Demikian firman Allah subhanahu wata’ala:

    لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (النور: 13)

    “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Jika mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (QS. An-Nur: 13)

    Tentu semua mukmin tidak mau divonis sebagai “pembohong” oleh Allah. Dan cara menuju tidak divonisnya kita sebagai pembohong oleh Allah itu adalah dengan cara tunggu dulu sampai suatu kasus telah selesai prosesnya secara hokum, yakni mendatangkan saksi yang kemudian saksi itu dibenarkan di pengadilan. Jika hal itu belum terjadi, namun kita telah menyebarkan isu tersebut, berarti kita telah bermain-main dengan label vonis pembohong dari Allah subhanahu wata’ala.

  2. Ukuran standar bagi setiap mukmin adalah dirinya sendiri dibandingkan dengan tokoh yang terkena fitnah tuduhan tadi. Setiap mukmin yang benar tentu akan tsiqah terhadap saudara mukmin lainnya. Diantara ketsiqahan tersebut adalah pembelaan kuat terhadap saudaranya yang difitnah. Ingat bagaimana kasus Ka’b bin Malik yang membelot dari peperangan, namun dia biasanya adalah mukmin yang baik selama ini. Bagaimana Mu’adz bin Jabal menepis ungkapan mukmin yang salah karena mengiranya Ka’b adalah terbius oleh kenikmatan harta. Kata Mu’adz, “Ya Rasul, demi Allah aku tidak mengetahui tentang Ka’b kecuali kebaikan. Dalam kasus ibunda Aisyah juga demikian. Dan Allah memuji dialog antara Abu Ayyub dan Ummu Ayyub tentang sikap tepat keduanya yang dipuji Allah. Sikap tersebut kemudian dilegendakan dalam Al-Qur’an berikut:

    وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (النور: 16)

    “Dan Mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), Ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)

    Ayat tersebut merupakan dukungan Allah terhadap keluarga mukmin yang tepat dalam menyikapi kasus tersebut. Kasusnya adalah saat Ummu Ayyub bertanya pada suaminya, “Tidakkan engkau mendengar tentang yang dikatakan masyarakat terhadap Aisyah?” jawab suaminya, “Ya dan itu adalah bohong. (Jika kamu dalam posisi Aisyah) apakah kamu akan melakukan perbuatan (zina) tersebut wahai Ummu ayyub”. Lalu Ummu Ayyub menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan melakukannya.” Kemudian suaminya mengomentari, “Aisyah, Demi Allah, lebih baik daripada dirimu.”

  3. Jangan sampai nafsu seorang mukmin mengalahkan sikap objektif yang harus dilakukannya sebagai hamba Allah yang beriman. Itulah yang terjadi pada Zainab binti Jahsy, isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang selama ini sering bersaing dengan Aisyah untuk merebut hati Rasulullah. Betapapun persaingan yang selama ini terus menerus, namun Zainab tidak mau berkomentar sedikitpun yang mencederai Aisyah, sesama isteri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai Aisyah sendiri mengapresiasi kelebihan Zainab tersebut, betapapun selama ini mereka berdua bersaing di hadapan Rasul. Berbeda dengan saudara Zainab yang bernama Himnah binti Zainab, justru menyebarkan isu tersebut dari rumah ke rumnah, sehingga kemudian ia diberi hukuman setelah ada pembelaan dari Allah terhadap Aisyah.Ingat pesan Allah terakhir setelah ada kasus Aisyah ini adalah, jangan sampai persistiwa isu seperti itu terjadi lagi pada barisan dakwah. Isu apapun yang menimpa qiyadah ataupun keluarganya ataupun orang dekatnya, Firman Allah ta’ala:

    يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (النور: 17)

    “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 17)

Semoga Allah ta’ala tetap menjaga, memelihara, melindung shaf dakwah dan menguatkan para pengusungnya. Jika musuh-musuh Allah berbuat maker, maka Allahpun mempersiapkan makar tandingan. Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat maker. Wallahu a’lam bishshawab.

 

Referensi:

Kitab Al-Manhaj Al-Haraky Li as-Sirah an-nabawiyyah, karya Munir Muhammad Ghadhban.