Studi Islam Indonesia Harus Berubah Menuju Era Revolusi Industri 4.0

SALATIGA-Studi Islam Indonesia harus berubah dari kultur keagamaan menuju kultur akademik. Hal ini menjadi tantangan yang dihadapi perguruan tinggi Islam di era revolusi industri 4.0.

Demikian diutarakan Guru Besar Bidang Pemikiran Islam IAIN Salatiga, Prof Asfa Widiyanto sebagai salah satu narasumber dalam seminar nasional bertajuk Islam Indonesia: Epistemologi dan Implementasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang digelar di Hotel Laras Asri Salatiga, Selasa (13/11/2018).

“Islam Indonesia bukan ideologi yang tertutup tetapi terbuka, menjadi inspirasi pengembangan budaya keilmuan,” paparnya.

Menurutnya budaya keagamaan di sebuah masyarakat muslim mempengaruhi karakteristik dan budaya keilmuan di negara tersebut. Di Indonesia idealnya dikembangkan pemikiran Islam yang tidak sekadar mengikuti kepercayaan tetapi didukung fakta.

“Kultur ilmu mempengaruhi produk ilmu. Tugas kita mengembangkan epistemologi yang sesuai dengan Islam Indonesia,” tambahnya.

Hal senada diungkapkan Staf Ahli Kementerian Agama RI, Prof Oman Fathurrahman. Menurutnya studi Islam Indonesia mengubah tradisi keagamaan menuju keilmuan. Contohnya, kata dia, dari sudut pandang teologis atau keagamaan bencana biasa dimaknai sebagai kemarahan, hukuman, takdir dan peringatan Tuhan.

Selain itu dari kaca mata mitologis di masyarakat  muncul mitos-mitos tentang penyebab terjadinya bencana. “Secara keilmuan bencana merupakan mekanisme alam. Hal ini bisa dipelajari dari manuskrip yang ada,” ungkapnya.

Lebih lanjut Prof Oman dalam pemaparannya mengatakan studi Islam Indonesia belum terlalu dikenal di dunia internasional. “Publikasi masih sangat kurang. Karena itu kompetensi dosen dan mahasiswa perlu ditingkatkan terutama di bidang bahasa,” papar pakar filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pembicara lain, Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof Mujiburrahman mengatakan kajian Islam tradisional saat ini tidaklah cukup, perlu ada tambahan ilmu sosial humaniora. “Pembuat Apple menjelaskan teknologi saja tidak cukup perlu dikawinkan dengan humaniora yang menghasilkan teknologi lebih baik,” terang dia.

Artinya, dalam sudut pandang studi Islam Indonesia diperlukan integrasi antara sains dengan ilmu keislaman dan humaniora. Perguruan tinggi dituntut untuk tidak terkungkung pada bidang ilmu tertentu semata.

Mengenai tantangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) saat ini adalah menghasilkan sarjana kompeten yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Pasalnya sejak pintu demokrasi dibuka aktivis mahasiswa lebih banyak mendekat kepada politisi ketimbang akademisi.

Semakin jarang mahasiswa yang rajin membaca buku dalam pemikiran keislaman yang mendalam. “Perkembangan sosial politik dan budaya Tanah Air ini mempengaruhi mengapa semakin banyak dosen PTKIN yang tampil sebagai pengamat ketimbang pemain,” ujar dia.

Ini sejalan dengan pendapat Rektor UIN Raden Fatah Palembang, Prof Sirozi yang mengatakan PTKIN seharusnya menjadi kiblat studi Islam Indonesia bukan mencari kiblat.  Menurut Sirozi, PTKIN sebagai pusat studi Islam masih belum optimal.

Padahal dukungan khasanah keislaman sangat kaya. Dipaparkan dia, paradoks ilmu pengetahuan yang tidak termanfaatkan karena lemahnya bahasa dan teknologi informasi. “Jika tidak disupport dengan jaringan IT yang bagus PTKI tidak bisa berkembang,” ujar dia.

Di sisi lain, seminar nasional Islam Indonesia digelar IAIN Salatiga dalam rangka penyusunan naskah akademik studi Islam Indonesia. Selanjutnya naskah akademik yang tersusun akan menjadi acuan institusi dalam menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan dihadiri 200 peserta dari unsur dosen dan mahasiswa. IAINSalatiga-#AKSI (cka/zid_hms)